Kamis, 30 Desember 2010

SEJARAH SINGKAT FILSAFAT


Sejarah filsafat dapat diperiodisasi ke dalam empat periode yaitu :
1. Tahap/masa Yunani kuno (Abad ke-6 S.M sampai akhir abad ke-3 S.M)
2. Tahap/masa Abad Pertengahan (akhir abad ke-3 S.M sampai awal abad ke-15 Masehi)
3. Tahap/masa Modern (akhir abad ke-15 M sampai abad ke-19 Masehi)
4. Tahap/masa dewasa ini/filsafat kontemporer (abad ke-20 Masehi)
sementara itu K. Bertens dalam bukunya Ringkasan Sejarah Filsafat (1976) menyusun topik-topik pembahasannya sebagi berikut :
1. Masa Purba Yunani
2. Masa Patristik dan Abad pertengahan
3. Masa Modern
Pembagian periodisasi yang nampaknya lebih rinci, dikemukakan oleh Susane K. Langer yang membagi sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu :
1. Yunani Kuno (+ 600 SM)
2. Filsuf-filsuf Manusia Yunani
3. Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
4. Filsafat Modern (17-19 M)
5. Positivisme (Abad 20 M)
6. Alam Simbolis
kemudian Gahral Adian menambahkan kepada enam tahapan tersebut dengan satu tahapan lagi yaitu Post Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi sejarah filsafat, namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan menggunakan sifat pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.
Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat menampakkan diri sebagi suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, baru sesudah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan aneh pada waktu itu, filsafat berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah pertanyaan biasa seperti apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tanaman kopi berbuah ?, pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, karena mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan tentang Apa sebenarnya bahan alam semesta ini (What is the nature of the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales menjawab Air (Water is the basic principle of the universe), dalam pandangan Thales air merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air dapat berubah menjadi berbagai wujud
Kemudian silih berganti Filsuf memberikan jawaban terhadap bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Anaximandros (610-540 S.M) mengatakan Arche is to Apeiron, Apeiron adalah sesuatu yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa hakekat alam semesta adalah bilangan, Demokritos (460-370 S.M) berpendapat hakekat alam semesta adalah Atom, Anaximenes (585-528 S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M) menjawab asal hakekat alam semesta adalah api, dia berpendapat bahwa di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir. Variasi jawaban yang dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan tentang Alam/Dunia, sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli tentang Filsafat Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu kealaman.
Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir Yunani pun banyak yang berupaya memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang banyak mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalah Socrates (470-399 S.M), dia sangat menentang ajaran kaum Sofis yang cenderung mempermainkan kebenaran, Socrates berusaha meyakinkan bahwa kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Dia mengajukan pertanyaan pada siapa saja yang ditemui dijalan untuk membukakan batin warga Athena kepada kebenaran (yang benar) dan kebaikan (yang baik). Dari prilakunya ini pemerintah Athena menganggap Socrates sebagai penghasut, dan akhirnya dia dihukum mati dengan jalan meminum racun.
Sesudah Socrates mennggal, filsafat Yunani terus berkembang dengan Tokohnya Plato (427-347 S.M), salah seorang murid Socrates. Diantara pemikiran Plato yang penting adalah berkaitan dengan pembagian realitas ke dalam dua bagian yaitu realitas/dunia yang hanya terbuka bagi rasio, dan dunia yang terbuka bagi pancaindra, dunia pertama terdiri dari idea-idea, dan dunia ke dua adalah dunia jasmani (pancaindra), dunia ide sifatnya sempurna dan tetap, sedangkan dunia jasmani selalu berubah. Dengan pendapatnya tersebut, menurut Kees Berten (1976) , Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Herakleitos dengan pendapatnya Permenides, menurut Herakleitos segala sesuatu selalu berubah, ini benar kata Plato, tapi hanya bagi dunia Jasmani (Pancaindra), sementara menurut Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga benar kata Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M), seorang yang pernah belajar di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato meninggal Aristoteles menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua tahun, sesudah itu dia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion, dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat, Aristoteles mengambil jalan yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang berpendapat bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis amica veritas – Plato memang sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab bagiku – ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai kebenaran”)
Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk), menurut teori ini, setiap benda jasmani memiliki dua hal yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimungkinkannya Ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan bentuk, bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.
Disamping pendapat tersebut Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Dia adalah yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur dalam suatu sistem, yang intisarinya adalah Sylogisme (masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang khusus .
Abad Pertengahan. Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan mendapat kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan corak dan titik tekan yang berbeda. Periode sejak meninggalnya Aristoteles (atau sesudah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) sampai menjelang lahirnya Agama Kristen oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode Hellenistik (Hellenisme adalah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan) dan bercorak Mistik.
Menurut A. Epping. at al (1983) , ciri manusia (pemikiran filsafat) abad pertengahan adalah : (1) Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja, (2) Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles, (3) berfilsafat dengan pertolongan Augustinus
pada masa ini filsafat cenderung kehilangan otonominya, pemikiran filsafat abad pertengahan bercirikan Teosentris (kebenaran berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini tidak mengherankan mengingat pada masa ini pengaruh Agama Kristen sangat besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pemikiran.
Filsafat abad pertengahan sering juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional (terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga dapat dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran Islam dengan sudut pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen, sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di dunia Islam (Umat Islam) lahir filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi (801-865 M), Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198), sementara itu di dunia Kristen lahir Filsuf-filsuf antara lain seperti Peter Abelardus (1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang mendalami ajaran agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun dalam banyak hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).
Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis seperti dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat dominan yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara ajaran gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang pelopornya adalah Descartes, dia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan.
Diantara pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting adalah diktum kesangsian, dengan mengatakan Cogito ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian.
Dalam perkembangnnya argumen Descartes (rasionalisme) mendapat tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme seperti David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut sampai muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang terkenal sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan ini jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu takut terhadap kekangan dari Gereja.
Pandangan empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
Pengaruh positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berubah menjadi hedonis konsumeristis.
Postmodernisme pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada keberagaman dalam memaknai kehidupan.

Sabtu, 18 Desember 2010

ss
Perbedaan Antara Alquran, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi

Definisi Alquran telah dikemukakan pada halaman terdahulu dan utk mengetahui perbedaan antara definisi Alquran dgn hadis qudsi dan hadis nabawi di sini kami kemukakan dua definisi.
Hadis Nabawi Hadits dalam arti bahasa lawan dari kata qadim . Dan yg dimaksud hadis ialah tiap kata-kata yg diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya maupun wahyu; baik dalam keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini Alquran dinamakan hadis.
Hadis siapakah yg lbh benar selain dari pada Allah? {An-Nisa 87}.
Begitu pula yg terjadi pada manusia di waktu tidurnya juga dinamakan hadis.
.. dan engkau telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil dari hadis-hadis-maksudnya mimpi. .
Adapun menurut istilah pengertian hadis ialah apa saja yg disandarkan kepada Nabi saw. baik berupa perkataan perbuatan persetujuan maupun sifat. Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi saw. Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dgn niat. Dan tiap orang bergantung pada niatnya .. .
Yang berupa perbuatan ialah seperti ajarannya kepada para sahabat mengenai bagaimana cara mengerjakan salat kemudian ia mengatakan Salatlah seperti kamu melihat aku salat. .
Juga mengenai bagaimana ia melaksanakan ibadah haji dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda Ambillah dariku manasik hajimu. .
Adapun yg berupa persetujuan adl seperti ia menyetujui suatu perkara yg dilakukan salah seorang sahabat baik perkataan ataupun perbuatan; di hadapannya ataupun tidak tetapi beritanya sampai kepadanya seperti makanan biawak yg dihidangkan kepadanya. Dan persetujuannya dalam satu riwayat Rasulullah saw. mengutus orang dalam satu peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam salat yg diakhiri dgn qul huwallahu ahad. Setelah pulang mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw. lalu Rasulullah saw. berkata Tanyakan kepadanya mengapa ia berbuat demikian? Mereka pun menanyakan dan orang itu menjawab Kalimat itu adl sifat Allah dan aku senang membacanya. Maka Rasulullah saw. menjawab Katakan kepadanya bahwa Allah pun menyenangi dia. .
Yang berupa sifat adl riwayat seperti bahwa Rasulullah saw. selalu bermuka cerah berperangai halus dan lembut tidak keras dan tidak pula kasar tidak suka berteriak keras tidak pula berbicara kotor dan tidak juga suka mencela.
Hadis Qudsi Kita telah mengetahui makna hadis secara etimologi sedangkan qudsi dinisbatkan kepada kata quds. Nisbah ini mengesankan rasa hormat krn materi kata itu sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka kata taqdis berarti menyucikan Allah. Taqdis sama dgn tathir dan taqaddasa sama dgn tathahhara . Allah berfirman tentang malaikat .. padahal kami senantiasa bertasbih dgn memuji Engkau dan menyucikan Engkau .. .
Hadis qudsi adl hadis yg oleh Rasulullah saw. disandarkan kepada Allah.
Maksudnya Rasulullah saw. meriwayatkannya bahwa itu adl kalam Allah.
Maka Rasulullah saw. menjadi perawi kalam Allah ini dgn lafal dari Rasulullah saw. sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi dia meriwayatkannya dari Allah dgn disandarkan kepada Allah dgn mengatakan Rasulullah saw. mengatakan mengenai apa yg diriwayatkannya dari Tuhannya atau ia mengatakan Rasulullah saw. mengatakan ‘Allah Taala telah berfirman atau berfirman Allah Taala’.
Contoh Pertama Dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw. mengenai apa yg diriwayatkannya dari Tuhannya Tangan Allah itu penuh tidak dikurangi oleh nafakah baik di waktu malam maupun siang hari .. .
Contoh Kedua Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata Allah Taala berfirman ‘Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila dia menyebut-Ku di kalangan orang banyak Aku pun menyebutnya di kalangan orang banyak yg lbh baik dari itu ..’. .
Perbedaan Alquran dgn Hadis Qudsi Ada beberapa perbedaan antara Alquran dgn hadis qudsi dan yg terpenting adl sebagai berikut.
1. Alquran adl kalam Allah yg diwahyukan kepada Rasulullah saw. dgn lafal-Nya dan dgn itu pula orang Arab ditantang tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Alquran itu atau sepuluh surah yg serupa itu bahkan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku krn Alquran adl mukjizat yg abadi hingga hari kiamat. Adapun hadis qudsi tidak utk menantang dan tidak pula utk mukjizat.
2. Alquran hanya dinisbatkan kepada Allah sehingga dikatakan Allah Taala berfirman. Adapun hadis qudsi seperti telah dijelaskan di atas terkadang diriwayatkan dgn disandarkan kepada Allah sehingga nisbah hadis qudsi itu kepada Allah adl nisbah dibuatkan. Maka dikatakan Allah telah berfirman atau Allah berfirman. Dan terkadang pula diriwayatkan dgn disandarkan kepada Rasulullah saw. tetapi nisbahnya adl nisbah kabar krn Nabi menyampaikan hadis itu dari Allah. Maka dikatakan Rasulullah saw. mengatakan apa yg diriwayatkan dari Tuhannya.
3. Seluruh isi Alquran dinukil secara mutawatir sehingga kepastiannya mutlak. Adapun hadis-hadis qudsi kebanyakan adl kabar ahad sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Adakalanya hadis itu sahih hasan dan kadang-kadang daif.
4. Alquran dari Allah baik lafal maupun maknanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah dan lafalnya dari Rasulullah saw. Hadis qudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Oleh sebab itu menurut sebagian besar ahli hadis diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi dgn maknanya saja.
5. Membaca Alquran merupakan ibadah krn itu ia dibaca dalam salat. Maka bacalah apa yg mudah bagimu dalam Alquran itu. .
Nilai ibadah membaca Alquran juga terdapat dalam hadis Barang siapa membaca satu huruf dari Alquran dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf laam satu huruf dan miim satu huruf. .
Adapun hadis qudsi tidak disuruh membacanya dalam salat. Allah memberikan pahala membaca hadis qudsi secara umum saja. Maka membaca hadis qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yg disebutkan dalam hadis mengenai membaca Alquran bahwa pada tiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan.
Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi Hadis nabawi itu ada dua. Pertama tauqifi. Yang bersifat tauqifi yaitu yg kandungannya diterima oleh Rasulullah saw. dari wahyu. Lalu ia menjelaskan kepada manusia dgn kata-katanya sendiri. Bagian ini meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah tetapi dari segi pembicaraan lbh layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw. sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yg mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yg diterima dari pihak lain.
Kedua taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu yg disimpulkan oleh Rasulullah saw. menurut pemahamannya terhadap Alquran krn ia mempunyai tugas menjelaskan Alquran atau menyimpulkannya dgn pertimbangan dan ijtihad.
Bagian kesimpulan yg bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika ia benar. Dan bila terdapat kesalahan di dalamnya turunlah wahyu yg membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dgn kedua bagiannya yg tauqifi atau yg taufiqi dgn ijtiihad yg diakui dari wahyu itu bersumber dari wahyu. Inilah makna dari firman Allah tentang Rasul-Nya Dia tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yg diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yg diturunkan kepadanya. .
Hadis qudsi itu maknanya dari Allah ia disampaikan kepada Rasulullah saw.
melalui salah satu cara penuturan wahyu sedang lafalnya dari Rasulullah saw. Inilah pendapat yg kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah Taala adl nisbah mengenai isinya bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dan Alquran dan tentu pula gaya bahasanya menuntut utk ditantang serta membacanya pun akan dianggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua macam syubhat.
Pertama bahwa hadis nabawi juga wahyu secara maknawi yg lafalnya dari Rasulullah saw. tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadis qudsi. Jawabnya adalah kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah krn adanya nas syara yg menisbahkannya kepada Allah yaitu kata-kata Rasulullah saw. Allah Taala telah berfirman atau Allah Taala berfirman. Itu sebabnya kita namakan hadis itu hadis qudsi.
Hal ini berbeda dgn hadis nabawi krn hadis nabawi tidak memuat nas seperti ini. Di samping itu masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan kepada Nabi melalui wahyu yakni secara tauqifi namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad yaitu secara taufiqi. Oleh sebab itu kita namakan masing-masing dgn nabawi sebagai terminal nama yg pasti.
Seandainya kita mempunyai bukti utk membedakan mana wahyu tauqifi tentulah hadis nabawi itu kita namai pula hadis qudsi.
Kedua apabila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah saw. maka dgn alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi Allah Taala telah berfirman atau Allah Taala berfirman. Jawabnya ialah bahwa hal yg demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab yg menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya bukan berdasarkan lafalnya. Misalkan ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa kita katakana bahwa penyair berkata demikian. Juga ketika kita menceritakan apa yg kita dengar dari seseorang kita pun mengatakan si Fulan berkata demikian. Begitu juga Alquran menceritakan tentang Musa Firaun dan sebagainya isi kata-kata mereka dgn lafal yg bukan lafal mereka dan dgn gaya bahasa yg bukan gaya bahasa mereka tetapi dinisbahkan kepada mereka.
Dan ingatlah ketika Tuhanmu menyeru Musa ‘Datangilah kaum yg zalim itu kaum Firaun. Mengapa mereka tidak bertakwa? Berkata Musa ‘Ya Tuahnku aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka maka aku takut mereka akan membunuhku.’ Allah berfirman ‘Jangan takut {mereka tidak akan bisa membunuhmu} maka pergilah kami berdua dgn membawa ayat-ayat kami ; sesungguhnya kami bersamamu mendengarkan maka datanglah kamu berdua kepada Firaun dan katakanlah olehmu ‘Sesungguhnya kami adl rasul Tuhan semesta alam lepaskanlah Bani Israil beserta kami.’ Firaun menjawab ‘Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat sesuatu perbuatan yg kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yg tidak membalas guna.’ Berkata Musa ‘Aku telah melakukannya sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yg khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yg kamu limpahkan kepadaku itu adl kamu telah memperbudak Bani Israil.’ Firaun bertanya ‘Siapa Tuhan semesta alam itu?’ Musa menjawab ‘Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yg di antara keduanya jika kamu sekalian mempercayainya’. .
Sumber Studi Ilmu-Ilmu Quran terjemahan dari Mabaahits fii ‘Uluumil Quraan Manna’ Khaliil al-Qattaan
sumber file al_islam.chm

Selasa, 07 Desember 2010

makalah

Oleh : Fauzul Kabir
Sejarah Penyusunan UUD 1945
Rumusan UUD 1945 yang ada saat ini merupakan hasil rancangan BPUPKI. Naskahnya dikerjakan mulai dari tanggal 29 Mei sampai 16 Juli. Jadi, hanya memakan waktu selama 40 hari setelah dikurangi hari libur. Kemudian rancangan itu diajukan ke PPKI dan diperiksa ulang. Dalam sidang pembahasan, terlontar beberapa usulan penyempurnaan. Akhirnya, setelah melalui perdebatan, maka dicapai persetujuan untuk diadakan beberapa perubahan dan tambahan atas rancangan UUD yang diajukan BPUPKI. Perubahan pertama pada kalimat Mukadimah. Rumusan kalimat yang diambil dari Piagam Jakarta," ...dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dihilangkan. Kemudian pada pasal 4. Semula hanya terdiri dari satu ayat, ditambah satu ayat lagi yang berbunyi, "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD". Dan, juga dalam pasal ini semula tertulis," wakil presiden ditetapkan dua orang" diganti menjadi "satu Wakil Presiden". Juga pada Pasal 6 ayat 1, kalimat yang semula mensyaratkan presiden harus orang Islam dicoret. Diganti menjadi," Presiden adalah orang Indonesia asli". Dan, kata "mengabdi" dalam pasal 9 diubah menjadi "berbakti".
Tampaknya, BPUPKI, Panitia Perancang UUD dan juga Muh. Yamin lalai memasukkan materi perubahan UUD sebagaimana terdapat dalam setiap konstitusi. Hingga sidang terakhir pada tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI sama sekali tidak menyinggungnya. Walaupun saat itu, sempat muncul lontaran dari anggota Kolopaking yang mengatakan, " Jikalau dalam praktek kemudian terbukti, bahwa ada kekurangan , gampang sekali tidak gampang, tetapi boleh diubah kalau perlu".
Usulan mengenai materi perubahan UUD baru muncul justru muncul saat menjelang berakhirnya sidang PPKI yang membahas pengesahan UUD. Di tanggal 18 Agustus 1945 itu, Ketua Ir Soekarno mengingatkan masalah tersebut. Kemudian forum sidang menyetujui untuk diatur dalam pasal tersendiri dan materinya disusun oleh Soepomo. Tak kurang dari anggota Dewantara, Ketua Soekarno serta anggota Soebarjo turut memberi tanggapan atas rumusan Soepomo. Tepat pukul 13.45 waktu setempat, sidang menyetujui teks UUD.
Dalam pidato pe-nutupan, Ketua Ir Soekarno menegaskan bahwa UUD ini bersifat sementara dan, "Nanti kalau kita bernegara didalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan lebih sempurna." Dari pidato ini, implisit tugas yang diemban oleh UUD 1945 sebatas mengantar gagasan (konsepsi) Indonesia masuk dalam wilayah riel bernegara. Setelah itu, akan disusun UUD baru yang lebih lengkap dan sempurna.
Namun,dalam perjalanan selanjutnya, eksperimen ketatanegaraan tak kunjung berhasil menetapkan UUD baru. Upaya yang dilakukan sidang Dewan Kontituante berakhir dengan kegagalan. Walhasil, hingga 1959 belum juga mampu disusun satu UUD baru yang lebih lengkap dan sempurna. Solusinya, UUD 1945 diberlakukan kembali. Kesejarahan konstitusi ini, jelas mengakibatkan banyak dampak politis. Tulisan ini membatasi diri hanya pada kajian sejarah. Utamanya yang berkait dengan watak asali dari UUD 1945. Apakah dengan dekrit - yang melahirkan kesan inkonsistensi sikap Soekarno, sifat kesemntaraan UUD 1945 berubah menjadi definitif atau tetap. Satu dari dua kemungkinan yang jelas akan berakibat serius pada perjalanan ketatanegaraan selanjutnya.
Dekrit Presiden 5 Juli
Kedudukan UUD 1945 sempat digantikan dua kali; oleh UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950. Kemudian, pada tahun 1959 dikembalikan pada posisi semula. Kali kedua berkedudukan sebagai dasar negara terjadi pada tanggal 5 Juli 1959. Atau dikenal dengan peristiwa keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Saat itu Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang antara lain menyebutkan," UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung dari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang Undang Dasar Sementara.". Dekrit ini sekaligus membubarkan Dewan Konstituante. Satu badan negara yang bertugas menyusun UUD baru.
Sejak saat itu, muncul masalah baru dibidang kajian konstitusi. Selain secara teoritik diperdebatkan keabsahannya, pun juga mengenai sifat yang semula melekat pada UUD 1945. Muh. Yamin, ahli hukum yang juga ikut merancang UUD 1945, berpendapat bahwa sejak dikeluarkannya dekrit maka hilanglah sifat sementara-nya. Argumentasinya didasarkan pada pernyataan berlakunya kembali UUD 1945 itu tidak diikuti dengan kalimat yang menyebutkan berlaku untuk sementara waktu. Olehkarenanya, anggap Yamin, MPR tidak perlu lagi menetapkan UUD sebagaimana isi Pasal 3 dan Aturan Peralihan UUD 1945.
Namun, tidak sedikit yang berpandangan sebaliknya. Jika ditilik aspek legalitas, keberadaan Dekrit sebagai dasar hukum pemberlakukan kembali UUD 1945 amat diragukan keabsahannya. Sebab, presiden jelas bukan lembaga yang punya otoritas untuk menetapkan UUD. Kewenangan ini hanya dimiliki oleh lembaga tertinggi negara atau MPR. Kalaupun dipaksakan, maka konsekuensinya Dekrit itu tidak mampu mengubah sifat kesementaraan UUD 1945.
Justru dengan berlakunya kembali UUD 1945 sama artinya dengan peneguhan keberadaan pasal 3. Satu pasal yang mengatur kewenangan MPR untuk menetapkan UUD yang baru . Bukankah pernyataan pemberlakuan kembali UUD 1945 oleh Dekrit, juga tak diikuti dengan kalimat pengecualian Pasal 3, Pasal 37 dan Aturan Tambahan UUD 1945? Artinya, ditinjau dari perspektiv juridis, UUD 1945 masih tetap bersifat sementara.
Persoalan akan menjadi semakin jelas jika ditelitik lewat tinjauan sejarah lahirnya Dekrit 5 Juli. Tanpa pemahaman yang utuh atas setting politik saat dikeluarkannya Dekrit, niscaya timbul satu pertanyaan besar; Mengapa Soekarno yang dulunya begitu wanti- wanti menegaskan sifat kesementaraan UUD 1945 serta berharap kelak akan dibuat UUD baru yang lebih lengkap dan sempurna, justru malah mengeluarkan dekrit kembali pada UUD 1945?
Setting politik saat dikeluarkan Dekrit (5 Juli 1959) merupakan tahun dimana panggung politik marak oleh hingar bingar pergolakan di daerah, perdebatan antar partai politik dalam sidang Dewan Konstituante serta semakin mengencangnya tuntutan tentara untuk ikut berpolitik. Carut marutnya dunia politik di era akhir 50-an itu, menempatkan Presiden Soekarno dalam posisi sulit.
Padahal disisi lain, sudah sejak 1957 ia menyatakan tidak ingin lagi memainkan peranan yang terlalu penting. Semisal dalam bidang ekonomi, ia merasa bukan bidangnya. Yang diinginkan, kedudukan yang tidak menuntut tanggung jawab besar. Sebatas simbol atau pencetus ide saja . Bukan kedudukan presiden sebagaimana dikehendaki UUD 1945 (biografi Hardi). Olehkarenanya, beralasan jika ada yang berpandangan, Soekarno tidak begitu senang dengan UUD 1945. Dalam konteks inilah, patut diragukan jika ada yang berpendapat keluarnya Dekrit 5 Juli berasal dari dari benak Soekarno.
Dalam menjawab persoalan ini, keberadaan Nasution (tentara) dalam pentas politik menjadi penting untuk dikaji. Kalangan akademisi sendiri juga sudah menyepakati adanya benang merah antara Nasution dengan berlakunya kembali UUD 1945. Setidaknya, pada tahun 1959 dan bahkan beberapa tahun sebelumnya (ingat tuntutan Nasution pada peristiwa 17 Oktober 1952), ia sudah beranggapan bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang paling pantas.
Sikap Nasution itu dilatar belakangi kondisi internal tentara yang amburadul. Faktor ini kemudian dibingkai dalam program konsolidasi. Satu program yang difokuskan untuk menyelesaikan friksi-friksi yang mulai menggejala, utamanya diantara para perwira profesional dengan perwira yang berbisnis serta antara perwira pusat dengan daerah. Dan juga, ia ingin mengakomodasi kecenderungan berpolitik dari sebagian perwira.
Dalam suasana seperti itu, muncul anggapan, persoalan yang menimpa tentara lebih diakibatkan pemberlakukan konsep otonomi yang luas serta kuatnya pengaruh politik dari parlemen. Jika dibiarkan berlarut-larut maka organisasi tentara akan semakin melemah. Secara a contrario, konsolidasi baru berhasil jika ada kontrol yang kuat dari pusat. Konsekuensinya, diberlakukan sistem sentralisasi kekuasaan pemerintahan serta politisi sipil dalam parlemen dilarang keras cawe-cawe urusan ketentaraan.
Kemudian, di tahun 1958, Nasution mulai giat mencari landasan bagi peran politik tentara. Tak kurang dari kalangan kampus juga dimintai pendapat, antara lain diskusi dengan Prof Joko Sutono - dekan FH UI yang menelorkan gagasan Jalan Tengah (De Legers Midel Weg). Dalam pidato tertanggal 12 November 1958 di Magelang, Nasution terang-terangan berpendapat tentara adalah kekuatan hankam sekaligus kekuatan sosial politik. Ini merupakan konsekuensi dari pelaksanaan doktrin perang wilayah yang memerlukan kekuasaan teritorial (konsep Jalan Tengah). Dan, sejak saat itu pula, petinggi tentara ini menginginkan UUD 1945 diberlakukan kembali.
Kesempatan baru diperoleh saat Presiden Soekarno melawat ke luar negeri. Sebelum berangkat, Nasution diberi mandat mengurus keadaan dalam negeri. Didalamnya juga termasuk mengurusi sidang Dewan Konstiuante yang sedang berlangsung di Bandung. Pada bulan Februari, gagasan kembali pada UUD 1945 mulai digelontorkan. Harapannya, konstituante segera menyetujuinya. Tapi, ternyata hasil pemungutan suara yang diadakan tanggal 2 Juni, diperoleh dukungan hanya 264 suara, 204 menolak dan 2 suara abstain. Padahal syarat sah-nya dibutuhkan 2/3 suara. Kegagalan memperoleh 2/3 suara sama artinya Nasution kalah. Keesokan harinya, Nasution langsung mencekal semua anggota Dewan Konstituante. Semua aktifitas politik dilarang. Orang tidak boleh lagi bicara di koran, sampai menunggu presiden pulang. Nasution sendiri segera mengirim kurir atase pada presiden. Setibanya dari lawatan, tanggal 29 Juni, Soekarno harus menghadapi kenyataan pahit. Saat harus bersikap, ia sudah tidak mempunyai organisasi yang baik, yang siap dikerahkan sewaktu-waktu. Soekarno harus berjuang sendirian dalam menghadapi Nasution, yang posisi politiknya semakin menguat. Selain itu juga ditambah dengan berita koran yang cenderung menguntungkan tentara. Sepanjang tahun 58 sampai 59, dipenuhi berita kudeta militer; di Irak, Pakistan, Birma, Thailand, Philipina, dan Sudan. Walhasil, dalam posisi lemah dan terjepit seperti itulah, keluar Dekrit 5 Juli.: Konstituante dibubarkan dan UUD 1945 diberlakukan kembali. Ibaratnya, dengan dekrit itu, UUD 1945 yang sedang berada dipersimpangan jalan dipaksa balik. Dipaksakan dalam posisi semula, sebagai hukum dasar.
Peristiwa ini lebih merupakan tanda bahwa Soekarno tahu, sejak saat itu ia sudah tidak lagi mampu mengontrol tentara. (Daniel Lev, Membangun Republik, Seattle, 2 Agustus 1995). Simpulan ini, lebih masuk akal. Apalagi jika ditelusuri jalinan sejarah berikutnya, yang menyodorkan cerita kejatuhan Soekarno di pertengahan tahun 60-an. Satu cerita tentang tragedi yang tak bisa dihindari, dari seorang pemimpin yang amat konsisten dengan pendirian politiknya. Selebihnya, adalah dongeng tentang mitologi konstitusi. Dan kini, tampaknya, UUD 1945 sudah kembali berdiri dipersimpangan jalan itu.
UUD 1945—yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945—terdiriatas Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Ketiganya sebagai satu-kesatuanpemahaman UUD (hukum dasar tertulis) yang utuh.Artinya, Penjelasan sebagaikelengkapan dari Batang Tubuh; Batang Tubuh sebagai perwujudan dariPembukaan.lengkap.Teks Proklamasi itu merupakan dokumen pernyataan politik dari proklamasikemerdekaan bangsa Indonesia.Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia—Pembukaan sendiri merupakan Teks Poklamasi yang terinci dan
tanggal 17 Agustus 1945—merupakan titik kulminasi dari perjuangan kemerdekaanbangsa Indonesia sejak dijajah pertamakalinya tahun 1596 (oleh Belanda) di daerahBanten—yang kini menjadi Propinsi Banten.Teks Proklamasi dirumuskan atas dasar ampera (amanat penderitaan rakyat:kemerdekaan, persatuan, keadilan, kesederajatan, kemakmuran, dst.) selama 353,5tahun—dan bahkan lebih jauh lagi ke belakang sejak perjuangan kemerdekaanrakyat terhadap feodalisme penguasa suku-suku asli dan kerajaan-kerajaan domestik.Tegasnya, ampera-lah yang mendorong dibuat dan dibacakannya Teks Proklamasi.Dengan demikian, UUD 1945 akan dapat dipahami dengan benar dan tepatapabila nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaannya dipahami terlebih dahulusebagai uraian terinci dan lengkap dari substansi Teks Proklamasi.
Di sini jelasbahwa UUD 1945 tidak lahir mendadak di saat-saat menjelang tanggal 18 Agustus1949, tetapi ia lahir di dalam dan selama proses perjuangan kemerdekaan bangsaIndonesia.Karenanya, untuk mengerti dan menghayati UUD 1945 tidak cukupIni berarti bahwa dalam penerapan danhanya dengan membaca teksnya saja.perubahannya harus dengan cermat untuk mau menelusuri asalmula kelahirannyaagar tidak tercabut dari akar-sejarahnya.C. Proses Perumusan UUD 1945Istilah ‘pancasila’ dikemukakan pertamakalinya oleh Ir. Soekarno padatanggal 1 Juni 1945 di saat ia mendapat giliran berpidato sesudah M. Yamin danSoepomo. Sila-sila dari ‘pancasila’ memang secara formal (di dalam Sidang-sidangtanggal 17 Agustus 1945—merupakan titik kulminasi dari perjuangan kemerdekaanbangsa Indonesia sejak dijajah pertamakalinya tahun 1596 (oleh Belanda) di daerahBanten—yang kini menjadi Propinsi Banten.Teks Proklamasi dirumuskan atas dasar ampera (amanat penderitaan rakyat:kemerdekaan, persatuan, keadilan, kesederajatan, kemakmuran, dst.) selama 353,5tahun—dan bahkan lebih jauh lagi ke belakang sejak perjuangan kemerdekaanrakyat terhadap feodalisme penguasa suku-suku asli dan kerajaan-kerajaan domestik.Tegasnya, ampera-lah yang mendorong dibuat dan dibacakannya Teks Proklamasi.Dengan demikian, UUD 1945 akan dapat dipahami dengan benar dan tepatapabila nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaannya dipahami terlebih dahulusebagai uraian terinci dan lengkap dari substansi Teks Proklamasi.
Di dalam UUD 1945 (setelah Perubahan) terdapat Pembukaan dan BatangTubuh. Di dalam Pembukaan terdapat Pancasila sebagai dasar negara, tetapi juga iasebagai ideologi negara.Sebagai ideologi negara—menurut studi Filsafat—,Pancasila berperanan sebagai pandangan hidup, dasar negara, dan tujuan nasional.Karenanya, penerapan UUD 1945 dapat dilakukan melalui cara berpikir filsafati.