Rabu, 15 Juni 2011

Pesona Teduh dalam Tasawuf Kaum Hawa (2); Rumahku Surgaku, Istriku Bidadariku

“Kalaupun dia tak memiliki kebutuhan biologis, tetap sangat berat baginya hidup sebatangkara di dalam rumah,” dawuh Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ ketika berbicara mengenai bangunan rumah tangga ideal dalam pandangan syariat dan tasawuf.

Istri adalah pendamping hidup yang dianugerahi keterampilan untuk menyelesaikan banyak hal yang tidak akrab dengan jiwa suami. Misalnya, berbagai macam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Penanggung jawab formal dari semua itu secara syariat adalah suami. Padahal, suami pada umumnya tidak memiliki keterampilan untuk menangani tugas-tugas tersebut. Kenapa demikian? Boleh jadi, agar istri punya kesempatan untuk meraih pahala besar, dengan berbakti, menjadi pembantu agama bagi suaminya.

“Dengan jalan ini, istri salehah merupakan pembantu agama (bagi suami) di rumah. Tanpa peran istri, akan banyak hal yang mengganggu hati dan membuat hidupnya menjadi serba menyesakkan.” Demikian, dawuh Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’. Terkait dengan itu, beliau mengutip pernyataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Istri saleh tidak termasuk urusan duniawi, karena dia justru membuatmu terfokus untuk akhirat.”

Ada beberapa tokoh sufi yang memiliki istri yang juga sufi, sehingga aura akhirat bersinar sangat benderang dari atap rumah tangganya, dan nuansa duniawi nyaris berada pada titik nol. Misalnya, yang sangat terkenal dalam khasanah tasawuf, adalah pasangan Syekh Ahmad bin Abil Hawari dengan Rabiah asy-Syamiyah.

Mereka hidup di Damaskus pada awal Abad Ketiga Hijriah. Mereka sama-sama dikenal sebagai tokoh sufi. Rabiah dikenal dengan pengabdian sufistiknya terhadap sang suami. Dalam kisah-kisah pengabdian Rabiah bertebaran kilau-kilau religius yang mempesona.

Secara fisik Rabiah sering sibuk di dapur, tapi hati dan pikirannya berisi Allah. Maka, konon, saat menyuguhkan masakannya kepada sang suami, Rabiah mempersilakan dengan kalimat, “Suamiku, makanlah. Makanan ini tidaklah masak melainkan dengan kalimat tasbih.”

Rabiah sering membuatkan masakan-masakan kejantanan, lalu memberikan pakaian-pakaian yang bagus dan harum kepada Ibnu Abil Hawari. Setelah itu ia bilang, “Suamiku, sekarang datangilah istrimu yang lain. Bawalah seluruh semangat kejantananmu.”

Meski Rabiah sering bilang seperti itu, bukan berarti tak ada cinta yang bersemai di hatinya. Ia sangat mencintai Ibnu Abil Hawari, tapi bukan cinta asmara, melainkan cinta karena ikatan kebenaran. “Aku sangat mencintaimu, tapi bukan cinta istri kepada suaminya, melainkan cinta orang-orang yang saling bersaudara,” katanya kepada Ibnu Abil Hawari.

Hati dan pikiran Rabiah memang senantiasa tertuju kepada Allah. Dia tidak memiliki kepentingan duniawi atas suaminya. Ahmad bin Abil Hawari pernah bercerita: suatu ketika aku memanggil Rabiah, tapi dia tidak menjawab. Ia baru menjawab beberapa saat kemudian. Ia berkata, “Suamiku, hatiku sedang dikuasai rasa gembira dengan Allah. Akhirnya, aku tak mampu menjawab panggilanmu.”

Jauh sebelum Ibnu Abil Hawari, ada Shilah bin Asyim, sufi masyhur dari kalangan Tabiin yang membangun rumah tangga dengan Muadzah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan di Basrah. Saat malam pertama, sepupu Shilah menyediakan pemandian air panas untuk mereka dan menyiapkan kamar pengantin yang indah dan harum. Tapi, yang terjadi, Shilah dan Muadzah justru melewatkan malam penting itu dengan beribadah semalam suntuk. Mereka salat hingga pagi tiba.

Mengetahui akan hal itu, sepupu Shilah sangat kecewa. Ia datang menghardiknya. Maka, Shilah bin Asyim angkat bicara, “Tadi malam engkau sediakan untukku pemandian yang membuatku mengingat neraka. Lalu, kau masukkan aku ke kamar yang membuatku mengingat surga. Maka, surga dan neraka itu memenuhi pikiranku hingga pagi.”

Dari perkawinan itu, Shilah dan Muadzah dikaruniai seorang putra. Ketika ia sudah dewasa, Shilah membawanya mengikuti sebuah perang. Mereka sama-sama gugur di sana. Mendengar hal itu, perempuan-perempuan di Basrah berdatangan ke rumah Muadzah untuk menyampaikan belasungkawa. Muadzah menyambut mereka. “Aku ucapkan selamat datang jika kalian ke sini untuk mengucapkan selamat kepadaku. Kalau bukan untuk itu, pulanglah kalian… Setelah ini, aku tidak menyukai hidup melainkan sebagai perantara untuk mendekat kepada Allah. Semoga Allah mengumpulkan aku dengan suami dan anakku di surga.”

Di barat Baghdad, tepatnya di daerah Baratsa, ada juga pasangan yang masyhur sebagai pasangan sufi, yaitu Abu Abdillah al-Baratsi dengan istrinya Jauharah al-Baratsiyah. Mereka hidup di pertengahan Abad Kedua Hijriah, semasa dengan Rabiah al-Adawiyah. Mulanya, Jauharah adalah seorang sahaya. Ketika merdeka, dia menjalani suluk di bawah bimbingan Abu Abdillah al-Baratsi. Tak lama kemudian, Abu Abdillah menikahi Jauharah. Selama menjadi istri al-Baratsi ini, Jauharah dikenal sebagai wanita sufi yang melewati hari-harinya dengan beribadah dan tafakur.

Suatu ketika, Jauharah pernah bertanya kepada suaminya, “Abu Abdillah, apa perempuan akan dihias di surga jika mereka masuk ke sana?”

“Iya,” jawab al-Baratsi.

Jauharah menjerit. Matanya melemah, ia jatuh pingsan. Saat siuman, al-Baratsi menanyainya. “Kenapa kau sampai pingsan?”

“Aku membayangkan wanita surga, dan membandingkannya dengan keadaanku di dunia. Maka, demi Allah, aku sangat takut kehilangan akhirat.”

Suatu ketika, Jauharah bermimpi melihat sebuah tenda. “Untuk siapa tenda ini?” tanya Jauharah. “Untuk orang yang bersungguh-sungguh dalam membaca al-Qur’an,” jawab orang dalam mimpi itu. Maka, sejak itu Jauharah tidak tidur malam. Sehingga, al-Baratsi pernah bercerita: Jauharah kadang membanguniku tengah malam. Ia bilang, “Suamiku, kafilah telah berlalu.”

*****

Itulah pernik kisah dalam rumah tangga ideal bagi para sufi. Sebenarnya, untuk fokus kepada Allah, tak sedikit tokoh-tokoh sufi yang memilih hidup membujang. Tapi, mereka pun mungkin akan menikah jika bisa mendapatkan istri seperti itu. Istri yang benar-benar menjadi pendukung, pemberi semangat, teman dan pembantu bagi suami agar mencurahkan seluruh waktunya untuk Allah. Istri yang membuat mereka semakin leluasa mencurahkan hati dan pikirannya untuk akhirat, seperti telah ditegaskan oleh Abu Sulaiman ad-Darani tentang istri salehah. Yâ Habbadzâh!

Rabu, 01 Juni 2011

perokok

Rokok, memang tidak pernah dikenal di masa-masa awal Islam, sehingga tidak ditemukan dalil tekstual mengenainya. Karena itulah, terjadi perdebatan antar ulama mengenai hukumnya. Ada yang menyatakan boleh, makruh, bahkan ada pula yang menyatakan haram.

Polemik mengenai hal ini, misalnya, terdapat dalam karya asy-Syaukani. Ia menyatakan boleh. Alasan asy-Syaukani, karena tidak dalil yang jelas mengenai rokok, sehingga masuk ke dalam kaidah, “Pada dasarnya semua hal itu halal selagi tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”

Mengenai pendapat makruh atau haram karena rokok dianggap membahayakan, asy-Syaukani menegaskan bahwa hal tersebut bersifat subyektif yang tidak bisa dijadikan landasan hukum. “Mereka yang mengatakan rokok itu haram harus menampilkan argumennya dan tidak cukup hanya mengatakan kata ini dan itu,” sangkal asy-Syaukani.

Menanggapi pernyataan asy-Syaukani, Abul ‘Ala al-Mubarakfuri menulis dalam Tuhfatul-Ahwadzi, “Memang betul apa yang dikatakan oleh asy-Syaukani bahwa pada dasarnya setiap sesuatu adalah halal, jika tidak ada dalil akan keharamannya. Akan tetapi, perlu dicermati, jika memang benda tersebut memiliki dampak negatif secara cepat atau lambat, maka masalahnya jadi lain. Kenyataannya, makan tembakau atau menghisap asapnya memiliki akibat buruk yang cepat.”

Al-Mubarakfuri menantang untuk melakukan uji coba. “Jika masih ragu akan pengaruh negatif dari rokok, silakan makan seperempat dirham atau seperenam dirham tembakau saja. Kita akan lihat, bagaimana reaksinya. Tembakau akan membuat kepala pusing, dan pandangan mata kabur. Ini membuktikan bahwa tembakau berbahaya bagi kesehatan. Jadi, tanpa diragukan lagi rokok adalah haram karena termasuk membahayakan diri sendiri. Dan, hal itu dalam agama dilarang,” terang al-Mubarakfuri.

Di balik perdebatan dalam ranah hukum agama tersebut, ternyata, di dunia kedokteran juga masih terjadi pro dan kontra, meski tak seberapa runcing. Seorang ahli fisika nuklir dan seorang profesor biologi molekular tak percaya bahwa rokok itu berbahaya dan dapat memicu kanker. Mereka justru menemukan proses unik bahwa rokok dapat dijadikan obat kanker, autis, dan berbagai macam penyakit lainnya.

Hal tersebut terjadi karena menurutnya, asap rokok sebagai partikel nano (1/sepermiliar meter) mudah melakukan penetrasi ke membrane sel untuk menculik mercury di dalam tubuh. Karena mercury itu doyan nikotin maka ia akan pindah dari sel ke asap sehingga terjadilah proses detoks yang kemudian akan menyembuhkan pasien. (www.balur.com).

Sementara itu di Indonesia, rokok dinilai sebagai bagian dari budaya, terutama jenis kretek yang menjadi khas pertanian kita. Rokok juga dinilai memiliki andil dalam pertumbuhan ekonomi sebagai penyumbang pajak yang cukup besar dan menciptakan lapangan kerja dengan jumlah buruh yang ribuan. Gudang Garam saja mempekerjakan sekitar 42.000 buruh di kota Kediri, berarti 17% dari populasi penduduknya yang berjumlah 242.000 jiwa.

Tapi, masalahnya, rokok juga dinilai sebagai biang munculnya beberapa jenis penyakit yang dapat meningkatkan angka kematian. Konon, setiap tahun di Indonesia sebanyak 57 ribu orang meninggal karena menderita penyakit yang disebabkan asap rokok, seperti jantung, paru-paru, kanker mulut, kanker tenggorokan, dan stroke. Menurut data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) 2002, sekitar 500 ribu orang Indonesia saat ini menderita berbagai penyakit akibat rokok.

Saat ini, semakin hari semakin bertambah jumlah pecandu rokok di negeri ini. Tidak hanya pria dewasa yang sudah bekerja, namun anak-anak sekolah juga kaum wanita banyak kecanduan dengan barang yang mengandung zat nikotin ini. Sulitnya bahaya pada rokok tidak hanya menimpa kepada perokok aktif, tapi dapat menimpa pada perokok pasif.

*****

Menyikapi sebuah kontroversi memang membutuhkan kehati-hatian dan sikap arif. Terlebih pemerintah yang memiliki tanggung jawab untuk mengatur. Jangan sampai kita memecahkan masalah, tapi justru memunculkan masalah baru. Ibarat wasit di lapangan sepak bola, pemerintah sebagai pemilik kebijakan harus fair dan tidak berat sebelah. Antara rokok, ekonomi dan kesehatan harus didudukkan secara tepat sehingga menghasilkan maslahat yang umum.

Dalam hal ini, kita memang perlu membandingkan dan memikirkan kembali tentang sisi kemudaratan dan kemanfaatan dari merokok. Dua sisi pandang yang menjadi perdebatan hingga detik ini. Pro rokok menjadikan manfaat berupa pertumbuhan ekonomi sebagai tameng sedang yang kontra menjadikan mudarat pada kesehatan sebagai senjata untuk menyerang. Inilah yang menyebabkan masalah rokok menjadi sebuah persoalan publik karena terkait dengan isu kesehatan masyarakat dan kontribusi pada lapangan kerja karena kemampuan produksi rokok sebagai sumber rezeki jutaan manusia.

Memang, untuk sementara ini mudarat yang tampak dari asap rokok adalah pada kesehatan. Namun di sisi lain, harus diakui tidak sedikit sumbangan dari para pengusaha rokok. Beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa, sponsorship program lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat, pembinaan atlet dan kegiatan olahraga, dan lainnya.

*****

Sebetulnya, terlepas segala pro dan kontra tersebut, larangan merokok tidak begitu masalah bila pemerintah menerapkannya secara bertahap. Tahap pertama adalah membuang aspek ketergantungan ekonomi kepada industri rokok. Industri rokok bukan satu-satunya jalan untuk menggerakkan ekonomi. Masih banyak alternatif yang bisa dilakukan.

Kedua, pemerintah harus membangun budaya hidup sehat di tengah masyarakat melalui sosialisasi dan kampanye anti-rokok. Kemudian diikuti dengan penyuluhan di beberapa tempat, khususnya di kantor-kantor desa dan pasar-pasar. Jika langkah ini efektif dan masyarakat telah sadar dengan kesehatan masing-masing maka dengan sendirinya rokok tidak akan menjadi problem yang harus diperdebatkan.

Sementara ini, sosialisasi anti-rokok hanya dilakukan melalui pemasangan poster di beberapa rumah sakit. Sedangkan iklan produk rokok demikian gencar dipromosikan di televisi, jauh lebih gencar daripada iklan anti-rokok. Jargon “Matikan rokokmu sebelum rokok mematikanmu!” tak pernah muncul di televisi. Padahal, semua orang menonton televisi, dan tidak semua orang masuk ke rumah sakit.

Langkah-langkah tersebut perlu diikuti dengan perbaikan ekonomi di segala sektor dengan cara membuka kran usaha selebar mungkin untuk mengatasi ekses yang dimunculkan saat industri rokok betul-betul melemah. Sehingga, ada banyak pilihan bagi pengusaha, petani tembakau, dan karyawan pabrik untuk mengembangkan usaha mereka, tidak menggantungkan diri pada produksi rokok.

Pada level usaha kerakyatan, birokrasi izin membuka usaha terlalu rumit sehingga melemahkan potensi rakyat untuk berkreasi dalam usaha. Akibatnya, tingkat pengangguran cenderung meningkat karena tidak adanya akses pekerjaan yang memadai. Ketika masyarakat desa eksodus ke kota dengan mengadu nasib menjadi PKL, misalnya, mereka diusir dan disita barangnya. Padahal, mereka sudah kehilangan potensi usaha di desa karena berbagai macam faktor.

Walhasil, meskipun merokok sebuah pilihan asasi manusia, tetapi tetap terbatasi oleh pilihan orang lain yang ingin bebas dari polusi rokok. Untuk itu, gerakan anti-rokok oleh sebagian masyarakat mesti didukung oleh semua pihak. Sebab, bagaimanapun, manfaat merokok sepertinya lebih kecil daripada manfaat tidak merokok. Para perokok pun sebenarnya juga mengakui bahwa merokok itu merugikan kesehatan. Hanya saja, kecanduan membuat mereka sulit melepaskan diri.

Sumber: Buletin SIDOGIRI